Saturday 2 April 2016

Negosiasi Sandra dan Ulama

Kekerasan dengan berbagai rupa di Mindanao, Filipina selatan, seperti penyanderaan, penculikan, dan bentrokan senjata, bukan saja nyaris tidak ada hentinya, susul-menyusul dalam rentang waktu yang sangat lama, melainkan juga bagai benang kusut yang sulit dicari ujung pangkalnya. Rangkaian kekerasan itu memiliki akar sejarah yang sangat dalam yang melibatkan banyak pihak, mulai dari penjajah Spanyol dan Amerika Serikat hingga pertengahan abad ke-20, masa pasca kemerdekaan di era pemerintahan Filipina, dan kemudian berlanjut dengan munculnya berbagai kelompok nasionalisme bangsa Moro yang menuntut merdeka atau otonomi.

Situasi tersebut menyebabkan tidak mudah pula untuk memahami setiap aksiden kekerasan, penyanderaan, maupun penculikan yang terjadi di Filipina bagian selatan yang mayoritas berpenduduk Muslim itu. Kali ini penyanderaan menimpa 10 warga negara Indonesia yang merupakan anak buah kapal dari kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12. Penyanderaan dilakukan kelompok yang oleh media disebut sebagai kelompok Abu Sayyaf, di wilayah Perairan Sulu, Kepulauan Mindanao. Penyanderaan itu memang harus segera dihentikan dan sandera harus segera dibebaskan dengan segala cara yang sah menurut hukum.

Namun, seyogianya peristiwa penyanderaan itu sendiri tidak serta-merta diasosiakan atau dikaitkan langsung dengan hal di luar peristiwa itu sendiri, seperti terorisme, keterkaitan dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) serta negosiasi damai Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dengan pemerintah pusat Filipina yang masih timbul tenggelam, kecuali ada pengakuan langsung dari pihak penyandera bahwa mereka terkait dengan hal tersebut.

Abu Sayyaf

Kelompok yang kini dikenal dengan nama kelompok Abu Sayyaf semula adalah kelompok idealis dari pasukan bersenjata Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) di awal-awal perjuangan bangsa Moro di tahun 1980-an yang dipimpin oleh komandan yang bernama Abu Sayyaf. Mereka bersikukuh untuk mempertahankan tuntutan merdeka dan menolak langkah Profesor Nur Misuari—Guru Besar di Fakultas Studi Islam The University of The Philippines yang kemudian menjadi pemimpin besar MNLF—untuk bernegosiasi damai dengan pemerintah pusat Filipina dengan pilihan otonomi.

Negosiasi damai MNLF itu sendiri melahirkan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) di mana Pemerintah Indonesia memiliki andil besar di dalamnya. ARMM adalah suatu pemberian wilayah otonomi yang terbatas bagi daerah yang mayoritas Muslim di Kepulauan Mindanao, di mana Nur Misuari terpilih menjadi gubernur pertama ketika itu.

Di samping melahirkan Abu Sayyaf, negosiasi itu juga melahirkan kelompok baru yang menamakan diri sebagai MILF. MILF bahkan lebih besar dari kelompok Abu Sayyaf, konon lebih dari separuh pengikut MNLF berpindah ke MILF, termasuk sebagian angkatan bersenjatanya yang menolak bergabung dengan tentara negara Filipina, sebagai konsekuensi dari perjanjian damai.

Namun, berbeda dengan kelompok Abu Sayyaf yang murni angkatan bersenjata, MILF lebih berupa organisasi yang bersifat campuran. MILF yang dipimpin Hasyim Salamat—alumni Al-Azhar Mesir yang sebelumnya adalah deputi Nur Misuari di MNLF—juga menolak hasil negosiasi MNLF pimpinan Nur Misuari tersebut, dengan bertahan pada tuntutan merdeka. Dalam realitas politik, MILF kemudian menjadi oposisi lewat cara separatis terhadap ARMM yang merupakan hasil perjanjian MNLF dengan Pemerintah Filipina.

Sebagai konsekuensi dari menolak pilihan damai, kelompok Abu Sayyaf kemudian menjadi kelompok desersi yang memisahkan diri dari pasukan yang dibawa Nur Misuari untuk bergabung dengan militer Filipina di bawah perjanjian damai tersebut. Semula kelompok Abu Sayyaf menjalankan misinya dengan murni dan moral yang tinggi melawan tentara Filipina maupun ARMM dengan tetap berteguh pada tuntutan merdeka. Namun, ketika mereka kehabisan logistik, pasukannya pun satu per satu memisahkan diri, terpecah-pecah, dan mencari jalan sendiri-sendiri. Sebagian mereka mengambil jalan perampokan dan penculikan untuk mempertahankan hidup.

Kelompok Abu Sayyaf kemudian juga tidak terorganisasi secara struktural. Ia lebih merupakan aksi sendiri-sendiri dan kelompok-kelompok kecil yang mungkin satu sama lain tidak saling terkoordinasi. Bahkan, penculikan dan penyanderaan itu menyerupai apa yang dalam kehidupan interpreneurship disebut sebagai multi-level marketing (MLM). Seseorang mungkin bertindak sendiri melakukan penculikan terhadap seseorang, tetapi sandera itu kemudian dijual kepada orang lain yang lebih memiliki kekuatan tawar dengan pihak tertentu dengan harga yang lebih tinggi. Begitu seterusnya, sampai kepada orang atau pihak yang bahkan bisa bernegosiasi dengan kedutaan atau perwakilan negara tertentu, sesuai dengan asal dan kebangsaan orang yang diculik, dengan tuntutan harga lebih tinggi.

Pada akhirnya, Abu Sayyaf seperti menjadi penyebutan kelompok yang melakukan aksi penculikan dan penyanderaan, meskipun sebenarnya aksi itu tidak dilakukan oleh kelompok mereka. Karena itu, tuntutan penculik sering kali bersifat eksklusif, misalnya dengan tuntutan jumlah uang tertentu, dan tidak mencerminkan keterkaitan dengan tuntutan kelompok lain, apalagi dengan gerakan global, seperti NIIS dan terorisme. Karena itu, peristiwa penyanderaan ini sebaiknya terlebih dulu diidentifikasi secara detail dan hati-hati. Boleh jadi, penyanderaan itu dilakukan oleh kelompok yang semata-mata mencari uang dan perampokan biasa. Sekali lagi, kecuali mereka secara eksplisit mengklaim sebagai bagian dari gerakan lain. Julukan Abu Sayyaf juga sering dipakai secara serta-merta oleh orang luar atau pemerintah untuk menunjuk orang atau sekelompok orang yang bertindak menyerupai cara mereka.

Struktur sosial

Meskipun Islam sangat awal masuk ke wilayah Mindanao, tetapi Islam nyaris tidak mengubah struktur sosial masyarakat Mindanao awal. Masyarakat Mindanao terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang dipimpin oleh ”raja kecil” yang disebut datu. Setiap datu menguasai kelompok masyarakat dan wilayah tertentu dan boleh jadi berhadapan dengan kelompok yang dipimpin oleh datu yang lain. Persaingan dan konflik kekerasan seperti hal yang biasa ketika terjadi persaingan. Tradisi ini juga terjadi dalam perjuangan kemerdekaan atau otonomi sekalipun.

Mindanao juga terdiri atas berbagai etnis. Namun, yang paling besar adalah etnis Tausug yang merupakan etnis mayoritas di Kesultanan Sulu, dan suku Magindanao yang merupakan mayoritas di Kesultanan Magindanao yang berdomisili di pulau utama Mindanao. Polarisasi ini nantinya akan tecermin pula pada perbedaan dua organisasi MNLF yang berbasis di Sulu dengan mayoritas etnis Tausug dan MILF yang mayoritas etnis Magindanao dan berpusat di Magindanao. Pemimpinnya juga dari etnis dan asal-usul yang berbeda. Jika Nur Misuari berasal dari Tausug dan Sulu, Hasyim Salamat berasal dari suku dan Kesultanan Magindanao.

Sesungguhnya, baik MNLF maupun MILF merupakan kelompok pembaharu yang merupakan kritik keras terhadap feodalisme dalam sistem datu. Akan tetapi, ketika keduanya berhadapan dengan kekuasaan pusat Filipina dan berhadapan satu sama lain, keduanya kembali ke legitimasi kesukuan dan kesultanan mereka. Jika MNLF kembali kepada legitimasi Kesultanan Sulu dan etnis Tausug, MILF mencari legitimasi dari Kesultanan Magindanao dan suku Magindanao.

Pada Oktober 2014, terjadi perjanjian damai antara Pemerintah Filipina dengan MILF untuk menggantikan ARMM yang merupakan hasil perjanjian damai dengan MNLF. Namun, lagi-lagi perjanjian tersebut terkendala oleh sikap Kongres Filipina yang mempersoalkan landasan konstitusi dalam perjanjian tersebut.

Macetnya perjanjian damai antara MILF dan pemerintah pusat Filipina tersebut membuka dua luka yang menjadi salah satu sebab penting bagi berlanjutnya kekerasan kini. Luka pertama adalah di pihak MNLF karena perjanjian dengan MILF tersebut serta-merta menghapus ARMM yang merupakan hasil perjanjian dengan MNLF. Luka kedua adalah batalnya perjanjian dengan MILF itu sendiri, yang telah terjadi untuk kesekian kalinya.

Tradisi

Terlepas dari macetnya pembicaraan damai (peace talk) antara MILF dan pemerintah pusat Filipina, masyarakat Kepulauan Mindanao, khususnya wilayah yang hingga kini penduduknya mayoritas Muslim, seperti Pulau Sulu, Basilan, Tawi-Tawi, dan Magindanao, memiliki tradisi Islam yang sangat kuat betapapun keseharian mereka dituding terlibat dalam kelompok penculik dan perampok. Mereka memiliki penghormatan terhadap kepemimpinan agama yang sangat kuat ketimbang kepada pemerintah, khususnya pemerintah pusat Filipina. Karena itu, penting dipertimbangkan untuk melibatkan pemimpin agama dalam kemungkinan negosiasi dengan para penyandera itu.

Ulama Indonesia juga memiliki kedudukan tersendiri di sebagian masyarakat Mindanao Muslim secara umum, khususnya dari organisasi yang menonjol, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan pesantren. Bukan tidak mungkin mereka akan membuka diri jika negosiasi itu melibatkan kalangan mereka.

Lebih dari itu Pemerintah Indonesia perlu ambil bagian sekali lagi dalam perdamaian Mindanao di tengah-tengah kemacetan dan ancaman kekerasan yang kian tinggi sebagaimana yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia di tahun 1980-an dan 1990-an.

Ahmad Suaedy
Kompas, 01/04/2016
Anggota Ombudsman Republik Indonesia; Wakil Ketua Lakpesdam PBNU

0 comments: