Saturday 2 April 2016

Kartel Pangan dan Reformasi Pasar

KOMISI Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menyidangkan dugaan kartel daging sapi dan unggas. Dalam kasus daging sapi, ada 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter) diperiksa. Mereka diduga sengaja menahan pasokan dari feedloter ke rumah pemotongan hewan. Akibatnya, harga daging tetap tinggi. Pada saat bersamaan, ada 12 perusahaan unggas tengah diperiksa. Tudingannya sama, mereka diduga berperilaku kartel mempermainkan harga di pasar. Ujung-ujungnya juga sama, harga ayam mahal.
U
paya KPPU yang tiada lelah menyeret pelaku terduga kartel harus diapresiasi. Namun, seperti kentut yang bisa dicium tapi sulit dilihat, kartel bisa dirasakan tapi tidak mudah dibuktikan. Buktinya, sampai saat ini dalam bidang pangan KPPU baru bisa membuktikan kartel pada garam. Pada 12 Maret 2006, KPPU menghukum tujuh perusahaan masing-masing sebesar Rp2 miliar karena terbukti mengendalikan harga garam. Pada 2014, KPPU sebenarnya telah menghukum 19 perusahaan importir bawang putih karena terbukti berlaku kartel. Namun, keputusan KPPU dibatalkan di tingkat pengadilan negeri.

Berdiri pada 2000 setelah UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha ti dak Sehat diundangkan, 239 perkara telah diputuskan KPPU. Namun, tak sedikit yang kandas di pengadilan negeri atau Mahkamah Agung.Hingga 31 Desember 2015, 55 putusan KPPU dibatalkan PN, lebih banyak dari yang dibatalkan MA (30 putusan). Sebaliknya, jumlah yang dikuatkan MA sebanyak 80 putusan, sedangkan PN hanya menguatkan 74 putusan. Bisa jadi, perspektif hakim-hakim PN dan MA berbeda dengan hakim-hakim KPPU dalam melihat persaingan usaha tidak sehat. Ini menambah tantangan KPPU dalam mengurai, membongkar, dan menghukum ulah kartel.

Kesulitan bukti

Kartel--yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan, yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang, dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar--secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran. Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi, sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam.Inilah yang membuat otoritas pengawas sering kali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih untuk menyeret pelaku kartel.

Bagi Indonesia, kartel pangan bukanlah hal baru. Politik otoriter dan kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan elite penguasa dan para sekondannya telah menciptakan kaveling-kaveling ekonomi hanya oleh segelintir pelaku. Praktik buruk di era Orde Baru itu terus bermetamorfosis di era Reformasi, dan dilakukan turun-temurun dari generasi ke generasi.

Tidak mengherankan bila sebagian besar kartel pangan berubah jadi amat struktural, bagai tembok kedap air. Meskipun sudah dihukum pada 2006, praktik kartel garam kembali terulang pada 2015. Pelaku ‘jual-beli’ kuota impor daging sapi ditangkap dan dihukum pada 2013, tapi harga daging sapi sampai sekarang masih mahal.

Kartel pangan tumbuh subuh di negeri ini bukan hanya karena kue ekonomi dan peluang keuntungannya amat besar, melainkan juga didorong oleh kecenderungan perilaku pelaku ekonomi untuk menjadi pemburu rente (rent seekers), lemahnya penegakan aturan main, dan pengawasan, serta buruknya aransemen kelembagaan dan kualitas kebijakan (ekonomi). Akibatnya, hampir pada setiap jengkal aktivitas ekonomi pangan, baik yang pasarnya diatur maupun yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, selalu muncul peluang terjadinya kartel pangan.

Ini terutama terjadi pada komoditas-komoditas pangan penting yang kue ekonominya amat besar, yakni beras, jagung, kedelai, terigu, gula, daging, dan gula. Kartel kian menggila apabila produksi domestik tidak mencukupi.

Persengkongkolan

Dalam ilmu ekonomi dikenal dua bentuk ekstrem struktur pasar, yakni monopsoni plus varian berupa oligopsoni dan struktur monopoli plus varian berupa oligopoli. Struktur ekonomi disebut monopsoni apabila pembeli hanya satu, atau beberapa pembeli (oligopsoni) bersekongkol mengatur harga beli komoditas pangan. Struktur pasar disebut monopoli apabila penjual komoditas hanya satu, atau beberapa penjual (oligopoli) bersekongkol mengatur harga jual komoditas. Empat bentuk struktur itu menandai telah terjadi kegagalan pasar (market failures). Istilah ini sering disandingkan dengan istilah kega galan negara (state failures), yang ditandai ketidakmampuan negara melakukan eksekusi program sampai menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri (Arifi n, 2013).

Apa pun bentuk dan struktur pasarnya, petani dan konsumen selalu berada pada pihak yang dirugikan. Di hulu, petani berhadapan dengan para tengkulak yang bisa disebut pengijon atau pengagep. Mereka terkadang amat leluasa menentukan harga beli produk pangan.
Caranya, mereka menetapkan kriteria sepihak, serbatidak jelas, tidak transparan, dan tidak adil. Petani tidak berdaya. Selain tidak memiliki alternatif pasar, informasi pasar sepenuhnya berada di tangan tengkulak. Situasi makin rumit apabila petani terikat utang kepada pengijon, baik untuk modal kerja maupun kebutuhan hidup.

Daron Acemoglu dari MIT dan James A Robinson dari Universitas Harvard dalam bukunya Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty (2012) berkesimpulan bahwa ketimpangan di negara miskin lebih disebabkan kebijakan dan kelembagaan ekonominya yang bersifat ekstraktif, yang hanya menguntungkan segelintir oligopolis. Kondisi diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tanpa sadar ternyata telah memfasilitasi terjadinya penguasaan pasar mela lui kebijakan tata niaga yang salah.

Ada empat hal yang harus dilakukan. Pertama, reformasi struktur pasar. Caranya, mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru di setiap komoditas strategis. Reformasi struktur pasar tidak untuk mematikan pelaku usaha lama, tapi mendorong munculnya pelaku usaha baru. Kedua, membenahi administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus barang dari satu titik ke titik lain mudah diestimasi, termasuk fluktuasi harga. Lebih dari itu, administrasi yang baik dengan mudah mendeteksi aksi aji mumpung, baik menimbun maupun menciptakan kelangkaan pasar semu pelaku kartel.

Ketiga, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Produksi pangan yang baik akan menekan dampak buruk inefisiensi perdagangan. Perbaikan sistem informasi harga, informasi pasar, dan teknologi baru akan mengurangi inefi siensi sistem perdagangan yang akut.

Keempat, memperkuat KPPU baik dalam kewenangan menemukan alat bukti, memperluas defi nisi pelaku usaha sebagai subjek hukum KPPU, maupun peningkatan denda administratif menjadi Rp500 miliar agar ada efek jera. Amendemen UU No 5/1999 tak bisa ditawar.

Khudori
Media Indonesia, 29/03/2016
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

0 comments: