Wednesday 2 March 2016

Menuai Warisan 2045

Riduan Situmorang--Sekarang sudah tahun 2016, 29 tahun lagi, usia kemerdekaan Indonesia genap 100 tahun. Usia ini tentu saja sangat pantas disyukuri, bahkan bukan semata karena sudah bebas secara fisik dari tangan kolonialisme, melainkan juga karena sejatinya kita sudah harus melihat warisan yang berbeda antara tahun 1945 dan 2045. Masalahnya, apakah perbedaan yang akan kita peroleh pada tahun 2045 kelak akan sesuai dengan yang kita harapkan atau malah tidak jauh beda dengan keadaan tahun 1945?
            Baik, sejenak mari kita komparasikan keadaan sekarang dengan keadaan seabad yang lalu! Dari berbagai catatan sejarah kita ketahui, seperti ini pada tahun 1914 yang silam, negeri ini ketika itu masih dijajah. Gerakan-gerakan perlawanan memang sudah tersaji, tetapi masih sporadis dan tradisional. Hasilnya, raja-raja lokal banyak bertumbangan karena politik devide et impera kolonial masih dan makin berkecambah.
Pergerakan persatuan bahkan boleh dikatakan nyaris belum ada, kecuali Budi Utomo yang didirikan kelas ningrat, itu pun masih minus gagasan untuk patriotisme, apalagi kemerdekaan. Bahkan, setahun sebelumnya pada tahun 2013, Indische Partij sudah dilarang karena gagasannya sangat revolusioner: kemerdekaan!
Benih Awal
Pelarangan ini tentu saja merupakan bentuk akumulasi dari kegerahan bangsa kolonial terhadap pemikiran tajam R.M.Suwardi Suryaningrat dalam tulisannya yang berjudul Als ik een Nederlander was (Andaikan aku seorang Belanda) yang kemudian disusul Cipto Mangunkusumo dengan tulisannya Kracht of Vrees? yang berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan.
Tak mau ketinggalan, Douwess Dekker juga menuliskan Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat). Seperti kita ketahui, karena pemikiran yang melampaui zamannya, ketiga pimpinan Indische Partij ini dibuang ke tiga tempat yang berbeda.
            Sejak itulah benih kepercayaan diri untuk merdeka mulai dibenihkan. Apalagi secara tidak langsung perjuangannya diamini oleh Serikat Pedagang Islam yang boleh dikatakan sebagai anak ideologis dari Indische Partij yang kemudian diganti Cokroaminoto menjadi Serikat Islam. Kita tahu dan kita menjadi saksi  atasnya, yaitu bahwa setelah sarikat ini, sejarah mencatat berpuluh-puluh organisasi pergerakan bermunculan. Salah satunya kelak diikuti oleh para bapak pendiri bangsa seperti Sukarno, Hatta, dan Yamin.
Anda tentu tahu Sukarno, Hatta, dan Yamin bukan? Ya, mereka tokoh yang dikenang bangsa. Sekarang, coba bayangkan bagaimana dan dimana mereka saat ini andai sekarang tahun 1915? Kalau tidak keberatan, silakan search melalui internet dan lacak melalui buku tentang apa-apa saja yang mereka lakukan di tahun 1915! Anda kesulitan bukan? Pasti, karena memang saat itu mereka belum ada apa-apanya. Mereka masih masyarakat biasa yang belum merdeka. Sekolah saja mereka kesulitan karena harus sekolah di tempat bikinan bangsa penjajah.
Nah, coba kontraskan dengan kita saat ini. Ya, sebagaimana kita ketahui, secara fisik kita telah merdeka. Dan, dengan kemerdekaan itulah kemudian kita memiliki banyak sekolah secara bebas tanpa takut kepada dentuman senjata. Tetapi lihatlah sekarang, bagaimana kelakuan siswa kita! Banyak yang janggal bukan? Ada yang tawuran, terindikasi kekerasan, hingga memvideokan diri sendiri dengan kelakuan mesum sebagaimana laiknya orang dewasa, bahkan ditonton khalayak ramai melalui Youtube, padahal mereka masih SMP, ada pula anak SD yang mengeroyok dan membunuh! Celakanya adalah bahwa mereka-mereka inilah warisan yang kelak kita dapatkan pada usia seabad nanti.
Kesempatan Emas
Padahal lagi, masa muda seperti ini merupakan masa-masa emas. Saya jadi teringat pada bagaimana kemudian Timnas Spanyol secara memalukan pulang kampung pada perhelatan Piala Dunia di Brazil. Padahal, kita tahu, bahkan kita sebelumnya mengagung-agungkan mereka sebagai jagoan kuat untuk memenangi Piala Dunia 2014. Tetapi apa yang terjadi? Mereka justru tim pertama yang pulang dari Piala Dunia. Mengapa itu terjadi?
Banyak jawaban dapat dijejerkan, tetapi jawaban yang paling baik adalah karena kini bukan lagi zaman emas mereka. Zaman emasnya adalah ketika kebanyakan dari pemainnya seperti Iker Casillas, Xavi Hernandez, Fernando Torres, dan lain-lain masih muda semisal ketika mereka berhasil memenangi Piala Eropa tahun 2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010. Zaman emas mereka sudah berakhir.
Begitu juga halnya dengan kita, dalam konteks sumber daya, boleh dikatakan zaman emas kita sudah rapuh. Dulu industri kayu kita, misalnya, sangat berjaya. Hutan kita berlimpah. Tetapi karena asyik menebangi dan lupa menanami, hutan kita kini gundul dan melahirkan bencana. Padahal, sejatinya zaman emas itu dapat diorkestrasi untuk membangun industri perabotan atau furnitur.
Industri minyak kita juga pernah berjaya. Pada 1970-an dan 1980-an, ekspor kita didominasi minyak. Sayangnya, uang dari ekspor minyak tidak kita pakai untuk membangun industri perminyakan seperti kilang atau untuk mencari sumur-sumur minyak baru. Imbasnya, lihatlah sekarang kita masih sibuk pada masalah BBM berubsidi dan nonsubsidi.
Dalam konteks SDM, kita memiliki beragam zaman emas, salah satunya ketika bapak pendiri bangsa dapat memaksimalkan pendidikan yang minimal. Ketika para pejuang kita tanpa senjata dapat memenangi perang. Sekarang, zaman—tepatnya, kesempatan emaskita apa? Banyak! Sekolah sudah bertebaran tempat sukarno-sukarno kecil mendapatkan ideologi. Sialnya adalah, zaman emas ini tidak dapat kita maksimalkan. Kita menjadi antitesis dari para pejuang. Jika mereka memaksimalkan yang minimal, kita menjadi kaum minimalis sejati yang meminimalkan apa yang maksimal.
Imbasnya, lihatlah sekarang bagaimana kita tidak lagi berperang dengan orang luar, tetapi justru berperang dengan orang dalam. DPR tempat curhat mendadak berubah menjadi tempat penat. Pemerintah yang mengayomi demokrasi tiba-tiba menggerayangi dan menggerogoti demokrasi. Partai-partai yang kita harapkan sebagai anak ideologis dari Indische Partij tanpa diduga menjadi tempat berkecambahnya politik oligarkis dan elitis.
Ya, begitulah kesempatan emas. Kalau dipergunakan maksimal akan meledakkan impian, tetapi jika dihiraukan, kita akan meledak sendiri. Saya bukan pesimis menuai generasi emas pada seabad umur kita nantinya. Akan tetapi, apakah kita bisa optimis jika melihat generasi-generasi muda kita seperti yang digambarkan di atas yang tahunya hanya manja, mengeroyok, mesum, bahkan memvideokan dirinya layakanya suami istri?

Apakah kita bisa cukup optimis pula melihat generasi tua yang kini mewarisi politik devide et impera yang hanya tahu politik pecah belah dan hanya damai ketika deal dan deal telah disepakati? Maaf, ini harus diutarakan ebagai bahan pemikiran dan tentu saja refleksi: bahwasannya pada seabad kemerdekaan kita nanti, Indonesia akan tetap seperti ini, bahkan mungkin lebih parah. Inikah warisan yang kita harapakan?


Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan dan Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)

0 comments: