Riduan Situmorang--Sekarang sudah tahun 2016, 29 tahun lagi, usia kemerdekaan Indonesia genap 100 tahun. Usia ini tentu saja sangat pantas disyukuri, bahkan bukan semata karena sudah bebas secara fisik dari tangan kolonialisme, melainkan juga karena sejatinya kita sudah harus melihat warisan yang berbeda antara tahun 1945 dan 2045. Masalahnya, apakah perbedaan yang akan kita peroleh pada tahun 2045 kelak akan sesuai dengan yang kita harapkan atau malah tidak jauh beda dengan keadaan tahun 1945?
Baik,
sejenak mari kita komparasikan keadaan sekarang dengan keadaan seabad yang
lalu! Dari berbagai catatan sejarah kita ketahui, seperti ini pada tahun 1914
yang silam, negeri ini ketika itu masih dijajah. Gerakan-gerakan perlawanan memang
sudah tersaji, tetapi masih sporadis dan tradisional. Hasilnya, raja-raja lokal
banyak bertumbangan karena politik devide
et impera kolonial masih dan makin berkecambah.
Pergerakan persatuan bahkan boleh dikatakan nyaris belum
ada, kecuali Budi Utomo yang didirikan kelas ningrat, itu pun masih minus
gagasan untuk patriotisme, apalagi kemerdekaan. Bahkan, setahun sebelumnya pada tahun 2013, Indische Partij sudah dilarang karena
gagasannya sangat revolusioner: kemerdekaan!
Benih Awal
Pelarangan
ini tentu saja merupakan bentuk akumulasi
dari kegerahan bangsa kolonial terhadap pemikiran tajam R.M.Suwardi
Suryaningrat dalam tulisannya yang berjudul Als
ik een Nederlander was (Andaikan
aku seorang Belanda) yang kemudian disusul Cipto Mangunkusumo dengan tulisannya
Kracht of Vrees? yang berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan
ketakutan.
Tak mau ketinggalan,
Douwess Dekker juga menuliskan Onze
Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat).
Seperti kita ketahui, karena pemikiran yang melampaui zamannya, ketiga pimpinan
Indische Partij ini dibuang ke tiga
tempat yang berbeda.
Sejak
itulah benih kepercayaan diri untuk merdeka mulai dibenihkan. Apalagi secara
tidak langsung perjuangannya diamini oleh Serikat Pedagang Islam yang boleh
dikatakan sebagai anak ideologis dari Indische
Partij yang kemudian diganti Cokroaminoto menjadi Serikat Islam. Kita tahu
dan kita menjadi saksi atasnya, yaitu bahwa
setelah sarikat ini, sejarah mencatat berpuluh-puluh organisasi pergerakan
bermunculan. Salah satunya kelak diikuti oleh para bapak pendiri bangsa seperti
Sukarno, Hatta, dan Yamin.
Anda tentu tahu Sukarno, Hatta, dan
Yamin bukan? Ya, mereka tokoh yang dikenang bangsa. Sekarang, coba bayangkan
bagaimana dan dimana mereka saat ini andai sekarang tahun 1915? Kalau tidak keberatan, silakan search melalui internet dan lacak
melalui buku tentang apa-apa saja yang mereka lakukan di tahun 1915! Anda kesulitan bukan? Pasti,
karena memang saat itu mereka belum ada apa-apanya. Mereka masih masyarakat
biasa yang belum merdeka. Sekolah saja mereka kesulitan karena harus sekolah di
tempat bikinan bangsa penjajah.
Nah, coba kontraskan dengan kita
saat ini. Ya, sebagaimana kita ketahui, secara fisik kita telah merdeka. Dan,
dengan kemerdekaan itulah kemudian kita memiliki banyak sekolah secara bebas
tanpa takut kepada dentuman senjata. Tetapi lihatlah sekarang, bagaimana
kelakuan siswa kita! Banyak yang janggal bukan? Ada yang tawuran, terindikasi kekerasan,
hingga memvideokan diri sendiri dengan kelakuan mesum sebagaimana laiknya orang dewasa, bahkan ditonton
khalayak ramai melalui Youtube, padahal mereka masih SMP, ada pula anak SD yang mengeroyok dan
membunuh! Celakanya adalah bahwa mereka-mereka inilah warisan yang kelak kita dapatkan pada
usia seabad nanti.
Kesempatan
Emas
Padahal lagi,
masa muda seperti ini merupakan masa-masa
emas. Saya jadi teringat pada bagaimana kemudian Timnas Spanyol secara
memalukan pulang kampung pada perhelatan Piala Dunia di Brazil. Padahal, kita
tahu, bahkan kita sebelumnya mengagung-agungkan mereka sebagai jagoan kuat
untuk memenangi Piala Dunia 2014. Tetapi apa yang terjadi? Mereka justru tim pertama yang
pulang dari Piala Dunia. Mengapa itu terjadi?
Banyak jawaban dapat dijejerkan,
tetapi jawaban yang paling baik adalah karena kini bukan lagi zaman emas
mereka. Zaman emasnya adalah ketika kebanyakan dari pemainnya seperti Iker
Casillas, Xavi Hernandez, Fernando Torres, dan lain-lain masih muda semisal ketika
mereka berhasil memenangi Piala Eropa tahun 2008 dan 2012 serta Piala Dunia
2010. Zaman emas mereka sudah berakhir.
Begitu juga halnya dengan kita,
dalam konteks sumber daya, boleh dikatakan zaman emas kita sudah
rapuh. Dulu
industri kayu kita,
misalnya,
sangat berjaya. Hutan kita berlimpah. Tetapi karena asyik menebangi dan lupa
menanami, hutan kita kini gundul dan melahirkan bencana. Padahal, sejatinya
zaman emas itu dapat diorkestrasi untuk membangun industri perabotan atau
furnitur.
Industri
minyak kita juga pernah berjaya. Pada 1970-an dan 1980-an, ekspor kita
didominasi minyak. Sayangnya, uang dari ekspor minyak tidak kita pakai untuk
membangun industri perminyakan seperti kilang atau untuk mencari sumur-sumur
minyak baru. Imbasnya, lihatlah sekarang kita masih sibuk pada masalah BBM
berubsidi dan nonsubsidi.
Dalam konteks SDM, kita memiliki
beragam zaman emas, salah satunya ketika bapak pendiri bangsa dapat
memaksimalkan pendidikan yang minimal. Ketika para pejuang kita tanpa senjata
dapat memenangi perang. Sekarang, zaman—tepatnya, kesempatan
emas—kita apa? Banyak! Sekolah sudah
bertebaran tempat sukarno-sukarno kecil mendapatkan ideologi. Sialnya adalah,
zaman emas ini tidak dapat kita maksimalkan. Kita menjadi antitesis dari para
pejuang. Jika mereka memaksimalkan yang minimal, kita menjadi kaum minimalis
sejati yang meminimalkan apa yang maksimal.
Imbasnya, lihatlah sekarang
bagaimana kita tidak lagi berperang dengan orang luar, tetapi justru berperang
dengan orang dalam. DPR tempat curhat mendadak berubah menjadi tempat penat.
Pemerintah yang mengayomi demokrasi tiba-tiba menggerayangi dan menggerogoti
demokrasi. Partai-partai yang kita harapkan sebagai anak ideologis dari Indische Partij tanpa diduga menjadi
tempat berkecambahnya politik oligarkis dan elitis.
Ya, begitulah kesempatan
emas. Kalau dipergunakan maksimal akan meledakkan impian, tetapi jika
dihiraukan, kita akan meledak sendiri. Saya bukan pesimis menuai generasi emas
pada seabad umur kita nantinya. Akan tetapi, apakah kita bisa optimis jika
melihat generasi-generasi muda kita seperti yang digambarkan di atas yang
tahunya hanya manja, mengeroyok, mesum, bahkan memvideokan dirinya layakanya
suami istri?
Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan dan Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak)
0 comments:
Post a Comment