Thursday 3 March 2016

Ayo, Dukung SBY PSSI-1

Riduan Situmorang--Aku anak pertama. Kami ada 4 orang bersaudara: 3 laki-laki dan 1 perempuan. Yang perempuan ga doyan bola. Tapi, suka kali sama Ronaldo. Dua orang lagi adikku, wah, fanatik Madrid.

Saya? Barca, dungz….Tau, kalo kami di rumah, kalo itu masalah bola, saya kalah. Saya akan diserang oleh adik-adikku. Pada masalah bola ga ada sopan santun. Ga ada senior-seniroan. Ga ada abang-abangan. Yang perempuan jagokan Ronaldo pula itu. Saya benar-benar kesepian.

Mengadu sama orang tua? Eh, mereka sukanya film mistis dari India yang di ANTV itu.

Tapi gitu pun, habis cerita bola, kami abang adik ini akan kembali akur. Sopan santun kembali ada. Abang adik sudah mulai masuk silsilah. Senioritas pun berlaku lagi. Karena itulah, untuk mendapatkan rasa hormat, saya harus menghindarkan topik sepak bola.

Barangkali, inilah bedaku dengan SBY. Untuk mendapatkan rasa hormatnya sebagai mantan presiden, dia harus cerewet meributi sepak bola. Kadang, saya lucu memang. SBY kok sibuk ngurusin bola? Dia ga suka kok main bola? Buktinya, ga ada tuh klub kesukaan dia. Ga ada!

Entahlah saya salah. Dia itu, setahuku, seniman. Suka bikin album. Pernah malah lebih produktif dari Slank. Kalo olahraga? Hmmmm, bola voli kali, ya. Atau, jogging. Itu pun mungkin biar ada objek foto Bu Ani. Hehehe, becanda. Tapi, asal tau aja, ya, Bu Ani itu fotografer andal. Dia itu pernah mencereweti orang di media sosial karena karyanya disepelekan.

Bu Ani dan SBY memang orang gaul. Suka up-date status. Pamer? Gak juga!

Oh, iya, agak serius dulu kita! Kenapa SBY tiba-tiba suka ngurusi sepak bola akhir-akhir ini? Kenapa dia ga nonton film ANTV kek mama-papaku aja. Apa mungkin dia tiba-tiba menyesal ga pernah menyukai bola ya? Apa mungkin dia meratap karena selama presiden ga pernah serius menyudahi kasus sepak bola? Atau, apa SBY tiba-tiba sadar kalo masalah sepak bola kita sudah rumit. Stadium lanjut, barangkali?

Kenapa SBY?

Ya, masalah sepak bola kita memang lagi sakit-sakitnya. Sudah lama sekali. Semua di sana masuk. Masuk seni, masuk politik, masuk bisnis, masuk ekonomi. Gado-gado sehingga gaduh-gaduhan. Pemain bola akhirnya hanya tontonan politik. Tontonan bisnis. Tontonan ekonomi. Sepak bola bukan lagi sekedar urusan menendang bola. Semua ditendang, yang penting bisa gol.

Karena itulah ketua PSSI selalu melayang. Ada yang menendang, ada yang ditendang. Dulu, Nurdin Halid dijatuhkan, tapi tak kena pinalti. Djohan Arifin digoyang. Kita pening. Bahkan, Ketua Indonesia Football Watch Sumaryoto pernah menganalogikan PSSI sebagai yang terkena kutukan keris Empu Gandring. Keris itu memakan penciptanya sendiri karena Arok ingin memutus mata rantai ambisinya. Dia lalu menghabisi Akuwu Tunggul Ametung.

Namun spiral kutukan memakan Arok pula saat sudah bergelar Sri Rajasa Ranggah Sang Amurwabhumi lewat tangan seorang pengalasan yang akhirnya tewas oleh keris yang sama. Lahirlah episode saling menjegal: Anusapati tewas di tangan Tohjaya, giliran putra Ken Arok dari Ken Umang itu ditikam dalam pelarian karena pengejaran para pembalas dendam.

Apakah kutukan ini bakal lanjut? Kita tak tahu. Yang pasti, PSSI kini beku. Mau direformasi, semua orang tak siap. Mau disuntik mati, banyak orang berang, meradang. Sepak bola menjadi perkelahian. Bahkan, di luar lapangan sekalipun. Contohnya Partoba. Partoba diserang oleh orang-orang misterius. Itu terjadi selepas acara ILC TV One.

Perang berlanjut lagi di media. Sampai-sampai, Partoba harus pake bodyguard. Dia takut bergerak. Gara-gara apa? Gara-gara sepak bola? Sepak bola jadi keris yang menakutkan.

Aneh memang. Tapi, gitulah sepak bola. Yang dicereweti bukan bolanya, bukan pemainnya, bukan wasitnya, tapi orang yang jauh dari lapangan. Mereka ini bahkan tak tahu main sepak bola. Tapi anehnya lagi, meski tak tahu sepak bola, mereka bisa mengirimkan gajah. Skor pun diatur. Dengan mudah. Inilah sepak bola gaib. Menendangnya dari luar lapangan.

Itulah yang dilakukan SBY. Meski tak punya klub kesayangan, konon lagi main bola, tapi dia bisa mengatur. Ini seni. Ingat, kan, SBY itu seniman? Dia bisa mengolah kemungkinan menjadi kepastian. Dan kepastian menjadi kemestian.

Tinggal cerewet dan menggertuju aja dari Twitter, orang akan pada heboh. Bagaimana tidak, orang PSSI itu rata-rata teman-teman dia dari Demokrat. Ada Roy Suryo. Ini mantan menteri olah raga. Eh, ngomong-ngomong, dulu ada pernah mantan menteri olahraga yang tak tahu lagu Indonesia Raya. SBY mungkin tahu siapa itu. Tapi itu tak masalah. Ini masalah olah raga kok. Tak perlu seni menyanyi dan hapal lagu di sini. Apalagi nasionalisme. Itu sudah busuk.

Nah, ada lagi Hinca Panjaitan. Ada Ibas. Ada Sukarwo. Mereka ini orang kuat. Karena itu, mereka mendesak agar Jokowi memecat Imam Nahrowi. Kenapa? Karena bola alam gaib mau disuntik mati. Ini kebablasan. Masa alam gaib disuntik mati. Begitu SBY dan rekan barangkali berpikiran. Maka, semakin cerewetlah mereka dari media sosial.

Ini bukan kali pertama. Sebelumnya, perseteruan lebih hebat pernah ada. Nama arena mereka PSSI. Objeknya sepak bola. Tapi yang berantam, atau gladiatornya, adalah Golkar dan Demokrat. Ya, kita semua tahu. Dulu PSSI itu tempat main mata Golkar. Ada Bakrie, ada Nurdin Halid. Sebutkan lagi deretan lainnya.

Lalu, kini, persekongkolan perkelahian sepertinya balik dipolitiki. Kita mahfum memang bahwa kalo di dalam politik tak ada yang abadi. Meski Golkar dan Demokrat pernah saling hantam, itu bukan berarti mereka musuh bebuyutan. Mereka kini sudah saling lirik-lirikan. Mungkin sedang menanti atau mengintai para serdadu Jokowi.

Apa serdadu Jokowi semua malaikat dan deretan SBY iblis? Belum tentu. Maksud saya, tentu saja tidak. Sepak bola kan urusan gaib. Kisahnya hanya misteri, maya, konspirasi, seakan ada, tapi tak ada. Seakan tidak ada, tapi gemanya kuat-kuat. Seakan menolong, tapi bohong. Seakan kawan, tapi lawan. Seakan jujur, tapi bisa mundur setelah fulus terjulur.

Ah, sudahlah. Karena kini SBY ikut recok. Bahkan paling recok. Tak bersuara, tapi memekakkan telinga. Marilah kita dukung SBY sebagai Ketua PSSI. Barangkali dia menyesal selama ini tak pernah mengurusi sepak bola. Atau, barangkali dia kini beranggapan bahwa PSSI bisa menjadi kuda troya. Bisa menjadi sumber uang. Bisa menjadi alasan untuk bernyanyi, meski salah syair. Bisa menjadi eksis. Atau, SBY memang tulus. Atau, SBY lelah karena sudah pengangguran.

Sudahlah, pokoknya SBY harus PSSI-1. Ini bukan pelecehan karena masakan mantan Presiden jadi Ketua PSSI? Ini justru pemuliaan. Daripada sibuk-sibuk ngomel macam ibu rumah tangga yang tak diberi uang belanja. Daripada jadi pengangguran. Mending dipekerjakan. Kita lihat, apakah SBY bisa membuat PSSI akur. Atau, jangan-jangan keris itu menikam-nikam balik.

Siapa yang ditikam? Kita? Bola? Pemain? Jokowi? Partai?

Ah, mana urus. Sepak bola di PSSI kan urusan gaib. Hanya hantu yang berperan. Mana bisa hantu ditikam? Orang SBY hanya ribut di dunia maya kedengarannya sampai ke bumi, ke istana. Sampai-sampai Partoba takut karena dicecar oleh orang-orang gaib. Siapa mereka? Jangan tanya aku! Aku sama sekali ga bisa lihat hantu?
Oh, iya, sebelum didukung, apa prestasi SBY pada PSSI? Kalu belum ada, mari beri dia kesempatan. Kalu sudah ada, apa? Hehehehe. Ayo, semangat SBY. Kami di belakangmu. Jangan lihat ke belakang. Siapa tahu kami sedang memasang wajah tak sedap padamu. Yang penting, maju aja!
 
Riduan Situmorang
Pencinta Humor yang Tak Lucu

0 comments: