Thursday 3 March 2016

Anak, Cinta, dan Peradaban

BANALITAS kejahatan anak. Kata tersebut tampaknya pas untuk menggambarkan kebengisan seorang ayah kepada dua putrinya. Adalah Brigadir PB, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas di Kalimantan Barat tega membunuh dua buah hatinya.

F (4 ) dan A(3) meninggal dengan cara sangat sadis. Ia dimutilasi oleh seseorang yang selayaknya menjadi pelindung bagi kehidupannya. Ironisnya, Brigadir PB seperti tidak menyesal atas perbuatannya itu.

Ia seakan santai dan merasa tak ada masalah dengan dirinya. Brigadir PB seakan lupa bahwa dia adalah seorang polisi, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Saat ia tidak mampu menjalankan amanat untuk melindungi anak (keluarganya) maka pada dasarnya ia telah melalaikan tugasnya sebagai seorang aparat negara.

Ia lupa bahwa jabatan yang saat ini diemban merupakan amanat dari jutaan rakyat Indonesia. Artinya, saat ia melamar menjadi seorang anggota polisi, ada ribuan bahkan jutaan masyarakat yang ingin mendapatkan posisi yang sama.

Nasib, keberuntungan, dan ”takdir” Brigadir PB lah yang mengantarkannya menduduki jabatan itu. Ia telah menjadi bagian dari persaingan mendapatkan amanat rakyat Indonesia. Saat amanat itu tidak mampu diemban dengan baik, pada dasarnya ia telah mengecewakan jutaan orang.

Membunuh Kehidupan


Dalam konteks pembunuhan anak, Brigadir PB juga telah membunuh kehidupan. Ia dengan sengaja memupus tunas bangsa. Anak merupakan tunas dan persemaian peradaban. Saat anak terbunuh (baca: dibunuh), maka tunas itu akan pupus. Peradaban bangsa pun akan musnah. Saat peradaban musnah maka kehidupan ini akan hampa.

Kehampaan itu telah mengubur keriangan, keceriaan, dan ”kenakalan” anak. Anak melalui dunianya berproses menjadi. Masa itulah manusia menumbuhkan semangat dan cita besar dalam merangkai kehidupan yang lebih baik. Lebih dari itu, masa kanak-kanak menjadi fondasi keutuhan peradaban.

Pola pendidikan, perlakukan, dan penindakan yang keliru akan menjadi masalah serius bagi peradaban. Pembunuhan terhadap anak, apalagi anak kandung tentu merupakan masalah serius. Hal ini bukan masalah biasa yang dapat diurai secara cepat. Pasti ada yang salah dari sistem kebangsaan. Bangsa ini tampaknya sedang limbung.

Limbung dalam memandang anak. Anak masih dipandang sebagai manusia lemah dan tak berdaya. Anak pun sekadar manusia kecil yang dapat diperlakukan sesuai keinginan orang dewasa. Pemahaman inilah yang menjadikan sistem sosial tidak berjalan. Sistem sosial akan mandeg saat pemahaman itu menjadi laku bangsa Indonesia.

Anak adalah manusia merdeka yang mempunyai hak. Anak berhak mendapatkan penghidupan dan perlindungan yang layak dari orang tuanya. Saat orang tuanya tidak mampu melakukan itu, maka keluarga dan masyarakat umum berkewajiban menjadi ”pengasuh”.

Hal itu penting mengingat, anak adalah potret masa depan. Anak yang dibesarkan dari kekerasan, pelecehan, dan tindakan amoral lainnya akan mengisi pos kehidupan bangsa. Ia akan membawa ”dosa sejarah” yang dapat melumpuhkan kesadaran dan tindakan. Oleh karena itu, pola pengasuhan keluarga (extended family) menjadi penting.

Dalam masyarakat Jawa, misalnya, pengasuhan ini telah ada sejak lama. Anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua. Namun, juga ”diemong” oleh nenek/kakek, paman/bibi, dan seterusnya. Pola pengasuhan bersama ini telah hilang seiring semakin eksklusifnya masyarakat.

Masyarakat ”teracuni” sikap dan prinsip individualisme. Sehingga banyak keluarga saat ini semakin jauh, bahkan tidak saling mengenal. Apa yang terjadi di Kalimantan Barat sudah selayaknya menyadarkan kita untuk kembali menengok keberadaan anak.

Anak adalah amanat sekaligus anugerah Tuhan. Tuhan telah menurunkan buah hati dari proses cinta kasih yang tulus. Memelihara, mengasuh, dan membesarkannya dengan cinta tentu merupakan perwujudan dari rasa syukur kepada Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan. Selain itu, pengasuhan anak dengan cinta menjadikannya kokoh.

Anak menjadi pribadi yang mempribadi, manusia berkemanusiaan, dan tumbuh sebagai penyemai peradaban utama. Namun, saat anak tidak mendapatkan itu, maka kebangsaan dalam ancaman.

Kebangsaan akan dipenuhi oleh mereka yang tak mengenal cinta. Mereka akan mudah untuk menyalahkan dan mengerkah satu sama lain. Sebuah episode keruntuhan peradaban umat manusia.
Pada akhirnya, perilaku Brigadir PB menjadi penanda, betapa anak-anak Indonesia dalam naungan kekerasan. Anak Indonesia perlu diselamatkan dengan cinta. Cintalah yang anak menumbuhkan bukan membunuh.
Rita Pranawati
Suara Merdeka, 03/04/2016
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

0 comments: