Sunday 13 March 2016

Ahok dan Tuduhan Deparpolisasi

KEPUTUSAN Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk maju pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017 melalui jalur independen atau perseorangan telah menimbulkan berbagai komentar pro dan kontra.

Bagi mereka yang mendukungnya, keputusan Ahok itu suatu langkah awal yang berani untuk bertarung di medan politik Jakarta yang penuh dengan intrik-intrik politik yang kadang tidak sehat.

Bagi mereka yang 'menerima dengan setengah hati', khususnya dari kalangan partai politik, langkah Ahok dipandang sebagai upaya deparpolisasi, tanpa menjelaskan apa itu deparpolisasi.

Mengapa Ahok memilih jalur independen? Benarkah Ahok melakukan deparpolisasi?

Apa positif negatifnya kepala daerah dari jalur independen?

Kita sering mendengar alasan Ahok memilih jalur independen, atau dalam bahasa hukum terkait pilkada disebut jalur perseorangan.

Pertama, Ahok ingin menguji keseriusan anak-anak muda berlatar belakang berbagai suku dan agama yang menamakan dirinya Teman Ahok dalam mengumpulkan dukungan warga Jakarta melalui kegiatan #KTP untuk Ahok.

Tantangan yang diajukan Ahok pada mereka ialah, jika Teman Ahok bisa mengumpulkan 1 juta fotokopi KTP yang sah, Ahok bersedia menjadi calon independen.

Padahal, menjadi calon independen di Pilkada 2017 hanya membutuhkan 525 ribu fotokopi KTP atau 6,5% dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di DKI Jakarta.

Jika Teman Ahok mampu mendapatkan 1 juta fotokopi KTP dengan sebaran yang merata di seluruh 5 wilayah Jakarta, itu merupakan modal awal yang baik buat Ahok.

Kedua, Ahok ingin mengurangi efek negatif dari penggunaan partai politik sebagai kendaraan untuk maju kembali pada Pilkada DKI Jakarta, antara lain mahar politik yang biasanya tinggi.

Memang ada parpol yang sejak awal mendukung Ahok tanpa prasyarat, yakni Partai NasDem.

Partai lain pun ada juga yang mendukung, seperti Hanura dan PDIP.

Namun, karena proses pencalonan kepala daerah melalui parpol memang cukup lama dan rumit, Ahok lebih memilih menjadi calon independen.

Apalagi, fotokopi KTP yang dikumpulkan Teman Ahok sudah mencapai sekitar 770 ribu.

Ahok banyak dicerca karena ia pernah menyatakan kalau dia maju melalui jalur partai, biaya politik untuk mendapatkan dukungan partai bisa mencapai Rp1 miliar! Walau ada kepala daerah yang membantah mahar itu, seperti yang diucapkan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan adanya kenyataan bahwa pada pilkada 2012 Jokowi-Ahok didukung PDIP dan Gerindra dengan spirit gotong-royong, isu mahar politik itu tetap ada walau sulit dibuktikan.

Ketiga, Ahok senang bahwa rakyat, khususnya anak-anak muda yang terdidik dan melek politik, tidak lagi alergi atau bahkan cuek alias tidak peduli pada jalannya politik di DKI Jakarta.

Justru anak-anak muda ini aktif membantu Ahok mengumpulkan fotokopi KTP dengan biaya yang mereka peroleh dari kreativitas dalam membuat dan menjual merchandise (produk suvenir) bergambar dan bertuliskan nama Ahok sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta.

Bukan deparpolisasi

Istilah deparpolisasi terkait dengan pencalonan Ahok pertama kali dimunculkan Sekretaris DPD PDIP DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi, yang juga Ketua DPRD DKI.

Prasetio menilai adanya upaya deparpolisasi yang sedang berkembang di Indonesia.

Padahal, keputusan Ahok untuk maju melalui jalur perseorangan atau independen bukanlah deparpolisasi.

Bila kita simak lebih dalam, terminologi deparpolisasi muncul pada era awal Orde Baru yang ingin mengikis habis pengaruh dan aktivitas partai-partai politik dalam sistem politik Indonesia saat itu.

Dari segi bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan arti deparpolisasi sebagai pengurangan jumlah partai.

Era Orde Baru rezim Soeharto yang didominasi militer membuat dan memberlakukan kebijakan politik untuk mengikis habis pengaruh dan peran partai politik di Indonesia.

Langkah pertama deparpolisasi ialah adanya propaganda penguasa Orde Baru bahwa partai politik merupakan biang keladi dari kebobrokan politik di Indonesia, sejak era Demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer) sampai Demokrasi Terpimpin era Orde Lama.

Kedua, pemerintah melalui gagasan perwira intelijen Brigjen TNI Ali Moertopo menerapkan kebijakan pengurangan jumlah partai dari sembilan partai plus satu Golongan Karya (disebut sebagai golongan fungsional nonpartai) dua partai (PDI dan PPP) plus satu Golkar.

Fusi partai politik yang dipaksakan itu telah berhasil memaksa seluruh partai Islam bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan semua partai nasionalis dan kristiani (PNI, Murba, IPKI, Parkindo, Partai Katolik) bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Tiga kekuatan politik itu diberi nomor peserta pemilu yang memiliki arti simbolis nomor 1 PPP, nomor 2 Golkar, dan nomor 3 PDI.

Dengan demikian, ketika sistem politik berputar bagaikan baling-baling pesawat, yang tampak hanyalah Golkar.

Ketiga, pemerintah membuat aturan politik yang disebut deparpolisasi dan depolitisasi, yakni suatu kebijakan yang tidak membolehkan partai-partai politik membangun organisasi cabang dan ranting partai di bawah kecamatan (kelurahan dan desa/kampung).

Jika kita mengacu ke depolitisasi dan deparpolisasi itu, apa yang dilakukan Ahok bukanlah deparpolisasi.

Sebetulnya, jika partai-partai politik memiliki kecerdasan politik dalam melakukan manuver menjelang pilkada, mereka tidak perlu takut pada calon independen/perseorangan.

Partai-partai politik dapat melakukan rekrutmen politik para bakal calon kepala daerah dan sosialisasi politik lebih awal sehingga tidak dikalahkan jalur perseorangan ini.

Munculnya calon perseorangan antara lain disebabkan citra partai politik yang buruk di mata masyarakat akibat tingkah laku korup anggota partai yang duduk di badan-badan legislatif dan eksekutif pusat dan daerah.

Partai juga dipandang tidak melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan publik.

Sebaliknya, dalam pembuatan undang-undang dan peraturan daerah, partai-partai politik lebih mendahulukan kepentingan kelompok (partai atau gabungan partai) dan mereka yang pada saat pilkada atau pemilu (legislatif dan presiden) memberikan bantuan dana kampanye.

Indonesia, yang menganut sistem multipartai, seharusnya dapat mengurangi fenomena merebaknya kandidat independen pada pilkada karena berbagai kepentingan masyarakat dapat tertampung dari ideologi dan program kerja partai yang beragam itu.

Kenyataannya, partai, di dalam mendukung kandidat kepala daerah (dan presiden), lebih didasari kepentingan pragmatis dan bukan bersifat ideologis serta program dari para kandidat.

Dasarnya selalu elektabilitas pasangan calon dan bukan apa yang menjadi program kerja.

Karena itu, jangan salahkan masyarakat jika dalam kasus-kasus tertentu, seperti di DKI Jakarta, mereka kali ini mencoba untuk mendukung kandidat independen.

Kasus Ahok hanyalah satu dari sedikit daerah yang memiliki calon independen.

Secara kebetulan, Ahok didukung masyarakat karena akuntabilitas politiknya sebagai wakil gubernur dan kemudian gubernur DKI Jakarta yang dinilai amat baik.

Dia maju juga bukan karena dia berasal dari kelompok masyarakat yang dominan baik dari segi suku maupun agama, bukan juga karena memiliki harta yang besar, melainkan karena kepercayaan publik.

Tak mengherankan jika dalam menangkal propaganda politik atas dasar agama, mereka yang mendukung Ahok sudah mulai melakukan pre-emptive strike (serangan sebelum diserang) melalui tag-line #saya muslim tapi saya dukung Ahok.

Bakal calon independen sesungguhnya tidak selamanya baik, apalagi jika bakal calon independen itu lebih mendasari dirinya karena pernah memiliki kekuasaan yang melimpah.

Misalnya, ia pernah menjadi pejabat sipil atau militer, berasal dari suku dan agama besar di daerahnya, memiliki kekayaan yang melimpah yang dapat digunakan untuk kampanye politik, dan juga memiliki konsultan politik serta jaringan yang dapat melakukan segala cara untuk memenangkannya menjadi kepala daerah.

Soko guru demokrasi

Suka atau tidak suka, partai politik harus tetap menjadi soko guru demokrasi.

Demokrasi tidak akan berjalan baik tanpa partai politik.

Namun, partai politik harus kita bantu agar menjadi partai yang modern dan aktivitas politiknya diperuntukkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, bukan untuk kepentingan pengurus partai dan kelompok.

Semua partai politik harus berbenah diri dan melakukan introspeksi diri mengenai apa yang salah yang mereka lakukan selama ini.

Fenomena Ahok merupakan tamparan dan cambukan bagi partai untuk semakin berbenah diri agar keberadaan mereka dalam sistem politik Indonesia menjadi suatu keniscayaan.

Ahok, secara kebetulan, merupakan sosok pemimpin daerah yang jujur, berani mengambil risiko politik atas kebijakan yang diambilnya, dan bergerak cepat demi kepentingan rakyat Jakarta dan Indonesia.

Bayangkan jika calon perseorangan itu orang yang hanya mencari kekuasaan dan uang untuk diri dan kelompoknya yang melihat jalur independen ialah cara termudah untuk menjadi penguasa daerah.

Jika itu terjadi, bukan demokrasi untuk kepentingan rakyat yang akan terjadi, melainkan kepala daerah yang menjadi predator.

Artinya, melalui kekuasaan politik dan uang, ia akan menjadi penguasa yang otoriter dan korup.

Seperti kata Larry Diamond, bila penguasanya sudah menjadi predator, masyarakatnya juga akan menjadi masyarakat predator (predatory society).
 
Ikrar Nusa Bakti
Media Indonesia, 14/03/2016
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI

0 comments: