Thursday 4 December 2014

GERONTOKRASI DI TUBUH GOLKAR




Golkar merupakan salah satu hasil dari restukturisasi politik di samping PDI yang belakangan menjadi PDI-P dan PPP. Sejak itu, Golkar selalu menjadi pemenang dengan Soeharto sebagai aktor utama. Adapun PDI dan PPP selalu menjadi pecundang. Bahkan, ada kesan bahwa PDI dan PPP hanya pelengkap penderita karena mereka selalu tertekan di bawah.
Hal itu terbukti dari ketika misalnya, ada calon-calon pemimpin PPP dan PDIP yang vokal dan kritis terhadap rezim Orba, mereka pasti terdepak dan bisa jadi karier politik mereka tidak ber­kembang lagi. Sudah begitu, melalui rezim pemerintahan, Golkar bisa “merekayasa” siapa yang bakal duduk di jajaran utama di PPP dan PDI. Bahkan, di bawah panji-panji dan jargon demokrasi Panca­sila, PPP dan PDI selalu bisa diin­tervensi. Itulah sekilas ki­sah klasik kedigdayaan Golkar.
Belakangan, atas nama reformasi, Golkar pelan-pelan memudar karena rakyat terlanjur alergi. Perolehan suara mereka pun tidak lagi menen­tukan. Bahkan, urusan internal mereka mulai goyah karena rasa “patuh” berubah menjadi rasa “sesepuh”. Jika tidak, mereka akan melamar partai lain sebagai tempatnya untuk mencari haluan baru.
Di sisi lain, kader-kadernya bahkan tercatat terpecah dan membikin partai sendiri, termasuk Prabowo Subianto dengan Gerindranya, Wiranto dengan Hanuranya, dan Surya Paloh dengan Nasdemnya. Hanya memang harus tetap diakui bahwa taji Golkar masih cukup kuat. Hal itu setidaknya terlihat dari keikutsertaan mereka dalam kompetisi mengejar RI-1 dan RI-2, kecuali pada masa 2014. Selain itu, Golkar pun tercatat selalu nimbrung pada koalisi peme­rintahan, lagi-lagi, kecuali pada masa 2014. Praktis, pada tahun 2014 dan di bawah kepemimpin ARB-lah (Ical) Golkar “men­catat” banyak rekor.
Pergeseran Demokrasi
Ironisnya, walaupun di masa ini rekor banyak dicatatkan, di saat ini pula Golkar kembali mengalami trend menurun. Jangankan mengulang kisah “manis” mereka pada masa Orba, mengulang sukses Golkar era Akbar Tandjung pada tahun 2004, yang kala itu stigma tidak “enak” terhadap rezim Orde Baru masih mengu­lar saja tidak bisa diulang. Yang ada, Golkar semakin merosot. Sebagai perbandingan, pada tahun 2009, misalnya, mereka masih mendapatkan 106 kursi di DPR. Akan tetapi di masa Ical, perolehan kursi semakin merosot dan hanya mem­peroleh 91 kursi. Itu pun ma­sih sangat kontroversial ka­rena tiga orang kadernya, Agus Gumiyang, Nusron Wa­hid, dan Poempida Hida­yatulloh, yang notabene masuk sebagai DPR dipecat oleh Ical secara sepihak.
Hal ini tentu semakin tragis saja mengingat ketiga kader ini merupakan pilihan rakyat, bukan pilihan partai. Bahkan, Nusron Wahid tercatat pada jajaran lima besar peraih suara terbanyak nasional. Artinya, partai, terutama ketua partai sebenarnya tidak mem­punyai hak untuk menge­liminasi pilihan rakyat. Tetapi, justru itulah yang kemudian dilakukan oleh Golkar melalui Ical. Di sini, pergeseran nilai demokrasi dapat dilihat dengan mata telanjang, yaitu Golkar meng­ganti pilihan rakyat secara pak­sa, sekali lagi, hanya karena alasan politis, bukan kriminal.
Kini, Golkar sudah meng­adakan Munas IX. Terlepas dari prestasi Ical yang boleh dibilang menurun, tetapi pertanggung­jawabannya pada Munas IX hampir tanpa interupsi. Bahkan, dia kembali terpilih secara aklamasi untuk kemudian membawa Partai Beringin itu. Pencalonannya sudah mencer­minkan bahwa kaderisasi di partai itu menga­lami keman­degan. Hal itu seakan mene­guhkan bahwa tidak ada lagi orang yang lebih berpengaruh dan lebih bisa, kecuali Ical.
Belum lagi kalau kita coba tengok ke belakang tentang segenap hal-hal yang pernah dijanjikan apabila dia terpilih menjadi ketua umum—saat itu tahun 2009 di Riau—tidak kunjung dilaksanakan. Sekadar menyebut contoh, misalnya, Ical berjanji membangun gedung 20 lantai dan menye­diakan dana abadi Rp1 triliun. Janji tersebut sempat mengo­barkan optimisme bahwa Ical akan menjadi energi yang mengakselerasi kemajuan Golkar. Akan tetapi, sampai akhir jabatannya, janji tersebut tidak pernah terealisasi. Celakanya, dominan kader Golkar tidak menganggap ini sebagai kegagalan. Alih-alih kegagalan, hal itu justru menjadi tantangan sekaligus kesempatan karena para kader kemudian memercayainya sebagai ketua umum.
Entah apa pula yang ke­mudian mereka pikirkan sehingga Ical dianggap sebagai panutan. Padahal jika diban­dingkan dengan para pen­dahulunya, prestasi Ical sangat rendah. Contoh teranyar, secara personal Ical bahkan tak “layak” jual karena terbukti, walaupun sudah bertahun-tahun dia mendeklarasikan pencapresannya, nyatanya tak satu pun partai yang tertarik untuk meminangnya, termasuk sebagai cawapres. Maka yang ada kemudian, Golkar sempat terlempar-lempar, sempat ke Parbowo, ke Jokowi, lalu ke Prabowo lagi.
Memberi Kesempatan kepada yang Lain
Karena itu, jika ada argu­men mengatakan bahwa Golkar di bawah kendali Ical makin baik, mereka ini sudah patut dipertanyakan. Jangankan demokrasi yang memberi kesempatan kepada kader lain sebagai wujud dari regenerasi, Ical malah menggerontokkan Golkar. Inilah yang saya sebut sebagai gerontokrasi. Kita bisa menyebutnya sebagai diktator ataupun otoriter. Bila perlu, tindakan demikian merupakan langkah untuk kembali ke masa silam dimana otoriter menjadi kekuatan, tirani menjadi pedoman, dan diktator menjadi trend.
Mereka tidak tahu—atau mungkin sedang mem­per­baiki—otoriter dan diktator masa silam selalu berujung dengan kelabu. Ada Husni Mubarak yang tumbang, Khaddafy yang terseok, Soe­harto yang jatuh, bahkan Hitler yang dikecam oleh berbagai dunia. Entahlah, yang kita tahu, pemimpin yang baik itu adalah mereka yang melahirkan pemimpin baru, bukan melenyapkan. Seperti pepatah kita, tongkat estafet selalu harus diberi kepada orang lain, bila perlu kepada orang yang muda. Mungkin, Suku Nuer sebagai suku yang cukup berpengaruh di Sudan bisa menjadi contoh di sini. Mereka memiliki tradisi Rites de Passage, yaitu proses susul-menyusul generasi, termasuk regenerasi kepemimpinan.
Lagipula, seperti kata Sheila Kinkade dan Christina Macy dalam bukunya yang berjudul Our Time is Now: Young People Changing the World dikatakan berbagai alasan mengapa orang mudah dapat menjadi pilihan. Alasan itu misalnya, pemuda berada pada saat idealisme di titik puncak, dan ini potensi untuk peru­bahan besar; pemuda selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di mana pun; pemuda tidak memiliki beban sejarah, konflik, dan trauma masa lalu, sehingga langkahnya masih tegap tanpa diliputi rasa kebimbangan. Karena itu, sejatinya Ical harus memberi pelajaran demokrasi yang berharga melalui regenerasi jabatan, bukan gerontokrasi melalui ambil alih jabatan. Kalau tidak ke yang muda, setidaknya ke yang tua asal jangan kepada diri sendiri. Kalau itu yang terjadi, Golkar kini sudah menganut gerontok­rasi, bukan demokrasi.***

RIDUAN SITUMORANG

0 comments: